Poligami artinya memiliki istri lebih dari satu, dan hal ini adalah legal baik dalam hukum agama maupun hukum di Indonesia, jadi sebenarnya tidak perlu dipermasalahkan lagi. Namun, nyatanya hingga saat ini masih terdapat pro dan kontra tentang poligami di negeri ini, yang lambat laun menjadi permasalah yang serius hingga status legal dari poligami ini menjadi terancam.
Kita ubah sudut pandang terlebih dahulu ke pihak yang kontra atau tidak setuju dengan adanya poligami. Pada kubu ini paling banyak di dominasi oleh wanita, hingga akhirnya pendapat mereka diwakili oleh Grace sebagai Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang mengakibatkan terancamnya UU No.1 tahun 1974 tentang diperbolehkannya poligami.
Jika dirangkum, semua alasan penolakan poligami memang sudah disampaikan oleh Grace, yakni tentang keadilan dan kekhawatiran akan nasib anak-anak. Alasan lain juga masih ada, namun saya anggap kedua hal tersebut adalah hal yang paling utama.
Saya memiliki teman yang ayahnya berpoligami, teman saya berinisial AF, dia pernah berkata bahwa ibunya (istri pertama) merasa kurang perhatian beserta anak-anaknya, meskipun masalah kebutuhan ekonomi semua terpenuhi. Nah, dari hal ini saya sadar, bahwa uang itu tidak bisa menggantikan sebuah kasih sayang. Kebutuhan financial mereka terpenuhi, namun kebutuhan bathin mereka terancam. Coba bayangkan, dalam keadaan tersebut saja sudah menimbulkan persoalan, apalagi pada seorang suami yang tidak adil membagi kasih sayang serta financial?
Lalu kita ubah sudut pandang kita ke pihak yang pro atau setuju dengan poligami. Ya, kaum adam lah peserta terbanyaknya. Di dalam agama, memang diperbolehkan, bahkan dianjurkan, namun dengan syarat dan ketentuan yang berlaku, termasuk persetujuan istri pertama dan kesanggupan diri untuk berlaku adil. Menurut saya sendiri, poligami yang baik memiliki tiga keuntungan yakni mensejahterakan banyak pihak, mendapatkan pahala (bahkan jaminan surga bagi istri yang bersedia dipoligami), dan ajang menyalurkan hasrat duniawi berupa hawa nafsu.
Yang memegang peran penting dalam berpoligami memang pihak pria. Dan lagi, menurut saya poligami yang baik dan benar (berhasil) adalah ketika pihak pria (suami) yang bisa mengendalikan ketiga keuntungan yang telah saya sebutkan di atas. Dimulai dari kesejahteraan, tentu seorang pria harus memiliki backup harta dunia yang mencukupi, lalu masalah pahala bisa didapatkan dengan niat yang baik, dan pengendalian hawa nafsu yang adil agar masing-masing istri mendapatkan hak bathin termasuk anak-anaknya juga harus diberi kasih sayang.
Untuk mewujudkan hal tersebut, seorang pria membutuhkan kompetensi dalam hal pekerjaan, kompetensi dalam hal akhlak, serta kompetensi dalam hal pengendalian hawa nafsu agar tidak condong atau kecenderungan pada satu istri saja. Saya anggap ketiga hal tersebut adalah Kerja Keras, lalu poligami adalah Reward atas prestasinya.
Mengenai kontra dalam hal berpoligami, sebenarnya rencana mengilegalkan adalah terlalu berlebihan, karena kita tahu sendiri, negara Indonesia juga mempertimbangkan ketentuan agama terutama agama Islam. Jika dilarang berarti melawan agama, dan otomatis akan menimbulkan pro dan kontra berikutnya yang bisa berakibat fatal.
Selain itu, syarat poligami bahkan sudah diatur dalam UU No.1 tahun 1974, yakni persetujuan istri, jaminan kesanggupan ekonomi, dan jaminan tentang berlaku adil. Namun, ada yang sedikit menjanggal dari UU No.1 tahun 1974 ini, yakni pada pasal 4 ayat 2 tentang alasan yang dibenarkan untuk pengajuan poligami :
a. jika isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri,
b. jika isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak bisa disembuhkan,
c. jika isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
Nah, dari pasal tersebut, tidak tertulis tentang alasan "untuk membantu status perekonomian" dan alasan kemanusiaan yang lain yang sesuai tiga keuntungan yang saya sebutkan. Hal itu menurut saya sudah membendung adanya poligami (nah loh), karena butuh alasan yang serius dari sekedar niat ingin beristri banyak. Namun mengapa masih banyak terjadi poligami? ya itulah fungsi pengadilan, meskipun tidak tertulis di undang-undang, pemohon poligami bisa mengutarakan maksudnya di depan pengadilan agar bisa mendapatkan persetujuan yang sah secara hukum.
Jadi menurut saya masalah legalitas poligami tidak perlu lagi dipermasalahkan dalam hukum negara kita, namun yang perlu dipermasalahkan adalah para pelakunya. Dibutuhkan sebuah ketegasan syarat dan ketentuan poligami yang lebih rinci dari sekedar tulisan dan tanda tangan pernyataan. Mungkin saja diperlukan ketentuan gaji bulanan minimal sesuai daerah atau sesuai kebutuhan bahkan hadirnya para istri di pengadilan untuk mengucapkan kesaksiannya atau izinnya terhadap suami yang ingin berpoligami. Karena, sekedar tulisan dan tanda tangan bisa saja dimanipulasi demi keuntungan nomor 3, yakni hawa nafsu belaka. Dengan hal tersebut masalah poligami akan menjadi persoalan yang lebih serius lagi.
Lalu bagaimana jika keadilan ternyata malah rusak setelah poligami? menurut saya yang perlu ditindak adalah pihak pria sebagai pelakunya, mengapa tidak adil? bukan malah poligami nya yang disalahkan, karena poligami juga memiliki keuntungan positif bagi para pelakunya jika dilakukan dengan baik dan benar. Dan mungkin perlu ada undang-undang yang mengatur suami atau pelaku poligami yang lebih rinci lagi dengan hukuman yang lebih berat agar timbul efek jera bagi yang sudah atau hendak memiliki niat buruk tentang berpoligami.
Itulah pendapat saya mengenai poligami di negara demokrasi ini, saya sampaikan sesuai yang saya ketahui saja, jadi masih mungkin ada kesalahan yang saya lakukan. Semoga para pria tidak mengganggap poligami sebagai jembatan perselingkuhan, mungkin niat selingkuh-lah yang membuat ketidakadilan itu muncul. Dan semoga syarat dan ketentuan berpoligami akan diatur lebih kompleks lagi.
Dear Grace, saya salut dengan kepedulian dan tindak serius anda, namun saya rasa juga penting untuk tidak melihat hanya dari satu sudut pandang (berat sebelah), dengan landasan pancasila sila ke-1 tentang ketuhanan (agama) serta sila ke-5 yakni tentang keadilan :)